24detik.com | Tulangbawang – Polemik langganan koran di SMA Negeri 1 Banjar Margo, Kabupaten Tulangbawang semakin menggelitik akal sehat. Pihak sekolah mengumumkan bahwa seluruh langganan koran diberhentikan. Namun, temuan di lapangan justru menunjukkan adanya beberapa media yang masih menerima pembayaran.
Pertanyaan pun mencuat: dari mana sumber dana pembayaran itu? Apakah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jelas-jelas dilarang dipakai untuk langganan koran, sesuai Juknis BOS Tahun 2024? Ataukah ada kesepakatan terselubung dengan pihak tertentu di luar mekanisme resmi?
Media ini, dalam menjalankan fungsi kontrol sosial, sudah berulang kali mendatangi sekolah untuk meminta klarifikasi. Namun, Kepala Sekolah berinisial K.W hampir tidak pernah dapat ditemui. Alasan yang dilontarkan staf selalu sama: sedang dinas luar, menghadiri rapat, atau ada kegiatan lain. Pola berulang ini menguatkan dugaan bahwa sang kepsek memang sengaja menghindar dari konfirmasi.
Padahal, persoalan ini tidak ringan. Selama ini langganan koran dikelola melalui komite sekolah. Ironisnya, komite kini tidak lagi difungsikan, sementara aturan terbaru menegaskan bahwa sekolah tidak diperkenankan lagi melakukan tarikan kepada orang tua siswa melalui komite. Dengan kata lain, jika memang ada pembayaran kepada media tertentu, maka patut dipertanyakan legalitas dan transparansi sumber dananya.
Sikap bungkam kepala sekolah tidak hanya mencederai asas keterbukaan informasi, tetapi juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menjamin hak pers untuk memperoleh data dan keterangan.
Hingga berita ini diterbitkan, kepala sekolah tetap memilih diam. Media ini menegaskan selalu membuka ruang klarifikasi, namun ketertutupan pihak sekolah justru semakin mempertebal dugaan adanya penyalahgunaan kewenangan.
Karena itu, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung didesak segera turun tangan. Teguran tegas, audit penggunaan dana, bahkan evaluasi jabatan kepala sekolah menjadi langkah yang mendesak. Sebab, lembaga pendidikan negeri seharusnya menjadi contoh keterbukaan dan profesionalitas, bukan malah menyimpan praktik yang berpotensi menyalahi aturan.









